Kamis, 19 Agustus 2010

Identitas baru

Minggu kemaren saya periksa kehamilan untuk yang pertama
Sendiri saja karena jam praktek dokter sangat tak strategis yaitu jam di mana para buruh diharuskan bekerja
Jam 4 sore tepat saya sampai di loket pendaftaran
Karena sebagai pasien baru, saya harus mengisi blangko informasi pasien
Jam 5 sore saya pulang ke rumah
Malamnya saya buka-buka tas kerja saya dan menemukan kartu pasien saya yang baru tadi sore saya peroleh
Ahhhh saya tersenyum sendiri
Di situ tertulis nama lengkap saya....
Ya...hanya nama lengkap saya!!!!!

Dulu...waktu saya mengandung anak pertama saya, di kartu pasien saya tertulis gabungan antara nama saya dan suami
Apa yang terjadi????

Saya ingat-ingat lagi kejadian apa ya yang sudah membuat saya tanpa sadar mengganti nama saya?
Ahhh akhirnya saya menemukan....walau hanya sebagian kecil saja
Setelah menikah...saya merasa satu bagian dengan suami
Ya apa-apa harus berbagi...entah itu tugas, nama, atau keputusan
Tapi tu kan mau saya
Di kenyataannya kan tidak bisa seperti itu
Suami dengan banyak kesibukan dan kepentingan pasti berjalan sendiri
Lha kalau saya diam saja sambil tetap memegang prinsip saya wahhh apa jadinya jalan saya?
Makanya saya maju sendiri...
apa yang bisa saya perbuat ya saya lakukan
Apa yang dirasa berat ya sebisa mungkin saya imajinasikan menjadi enteng dan menggembirakan
Hal tersebut terjadi berulang-ulang sehingga membuat suatu pola yang tanpa saya sadari telah mengendap menjadi jiwa saya dan menyatu menjadi panduan hidup saya
Saya menjadi seperti "merepotkan" suami saya jika saya meminta bantuan beliau
Mandiri? Saya rasa bukan!!!!
Mandiri yang dipaksakan? Saya ikhlas kok menjalaninya!!

Ada beberapa teman kerja yang kemana-mana harus didampingi oleh suami tercinta, bahkan periksa anak yang panas tinggi pun harus menunggu suami pulang dari kantor
Ahhh saya tidak bisa seperti itu
Terlalu mandiri??? Saya rasa bukan!!!
Tidak menghargai suami?? Saya tegaskan tidak!!!

Saya hanya berani mengambil keputusan
Jika sebuah kapal tidak ada nahkoda atau sang nahkoda sedang capek atau sibuk dengan urusan lain, apa sang kelasi diam saja menunggu perintah?
Ya kalau lautan aman sentosa....lha kalau ada ombak tinggi menerjang?
Demikian juga dengan saya...
Bukannya saya mengabaikan peran suami saya
Namun karena saat-saat saya membutuhkan beliau dan beliau sedang berhalangan hadir...ya saya unjuk gigi dan keberanian untuk mengembangkan layar

Keberanian...
Pertama kali maju sendiri...saya merasakan ketakutan yang luar biasa
Saya paksa tubuh, jiwa, dan mental saya untuk maju
Akhirnya saya bisa...

Sekali lagi...
saya tetap perempuan yang membutuhkan pria di samping saya yang siap memanjakan saya
saya juga bukan mandiri tapi saya mencoba berani :))
Akhirnya saya mengucapkan dengan bangga atas prestasi saya yang kecil ini:

Selamat atas identitas baru yang sempat hilang!! :))

How can i forgive when it hurts so much



How can i forgive when it hurts so much

Gambar ini saya temukan di my document komputer saya.
Entah siapa yang menyimpan. Seingat saya, saya tidak pernah mendownload gambar itu dan menyimpannya di my document.
Kalimatnya simpel tapi mengena pas di hati saya.
Hanya sayang...gambarnya kurang jelas untuk dinikmati.
Kalimat itu seperti menampar saya
Apakah saya pernah tidak mau memaafkan orang lain?
Saya ingat-ingat...dan jawabannya: sering

Terlalu sulit untuk beberapa kesalahan yang harus segera dimaafkan dan dilupakan
Kadang kita sebenarnya bosan untuk mengingat-ingat kesalahan itu dan segera menghapus memori
Tapi...tetap saja kesalahan-kesalahan itu bercokol dengan kuatnya di otak saya. Padahal jika saya membuat kesalahan....saya berusaha meminta maaf dan ayoooooo dong lupakan kesalahan saya... :))

Kesalahan yang sangat menyakitkan memang wajar jika membutuhkan proses lama untuk di “hilangkan” dari otak kita.
Apalagi jika kesalahan itu sangat fatal dan membuat sakit hati dan jiwa saya. Mudah-mudahan saya terberkati untuk tidak melakukan hal tersebut ...

Suatu kali ketika orang lain meminta maaf...saya selalu berkata seperti dalam gambar tersebut: how can i forgive when it hurts so much?
Yaa....terlalu menyakitkan....
Dalam hati saya memohon semoga orang tersebut juga mau memaafkan atas keengganan saya untuk memberi ampun
Saya disakiti...wajar jika saya “jual mahal”
Itu saja ... .
Entah kapan...esok atau 6 tahun lagi...datanglah dan meminta maaf sekali lagi kepada saya
Mungkin saya akan memberi maaf dengan bonus senyum dan pelukan hangat
karena saat ini saya masih sering bertanya:
How can i forgive when it hurts so much?

20 agustus 2010 -- hari yang menjemukan

Kamis, 05 Agustus 2010

Aku lelah

aku lelah

kalimat ini sering sekali saya ucapkan akhir-akhir ini
kata teman...mungkin psikis saya yang lelah sehingga merambat dan memprovokasi badan saya untuk seia sekata : L E L A H

lelah yang saya rasakah kali ini beda
saya sendiri tidak bisa menemukan penyebabnya
lelah yang benar-benar membuat saya sulit bernafas dan anehnya diam-diam air mata saya keluar sendiri
itulah kenapa teman saya menilai kalau yang lelah itu psikis saya

saya mencoba mengelak analisis teman saya walaupun setelah saya renungkan menghasilkan jawaban: 100% benar
ya...psikis saya sangat lelah
sepertinya saya membutuhkan psikolog khusus nih
saya terlalu malu untuk bercerita dengan orang awam dan yang lebih penting adalah orang tersebut harus belum saya kenal
ahhh syarat yang aneh-aneh ya

saya terlalu kuatir juka saya cerita tentang masalah saya ini...yang ada hanya penilaian sepihak
saya malu dan enggan dikritik
saya capek dikritik
saya capek berkomunikasi dengan yang namanya manusia
yang katanya berhati lebih mulai dari binatang

saya sudah tak percaya lagi dengan yang namanya manusia
apalagi manusia yang di depan saya baik dan bersikap baik tapi menusuk saya dari belakang

saya juga capek untuk mengeluh (bukannya ini juga keluhan :) )
saya ... capek untuk mengerti dan memahami orang lain..apalagi memaafkan
saya ingin gantian posisi....saya juga ingin dimengerti....dipahami...dan dimaafkan....bukannya dibalas dendami (kosakata bahasa yang hancur ya)

saya capek Gusti
saya capek hidup untuk orang lain
saya ingin membahagiakan diri saya sendiri

saya capek dan saya takut berdoa....
mungkin inilah akar munculnya capek ini
tapi saya juga capek berdoa ....

aahhhhh manusia yang katanya lebih mulai dari binatang....ternyata ....

Mobil merah dan merahnya hati

sudah 6 kali ...
mobil merah itu bolak-balik di depan rumahku
misterius
tanpa bosan
sepertinya begitu penting yang dicarinya

tatap mata nanar sang empu mobil
ada air mata dan beban yang menumpuk
sepertinya dia kehilangan sesuatu
begitu berhargakah?

sudah 6 bulan ...
mobil merah itu bolak-balik di depan rumahku
rutin
tanpa putus asa
sepertinya aku tahu yang dicarinya

...
Nyonya...yang kau cari tidak ada di rumahku
suamimu ada di rumah sebelah

5 agt 2010

Selasa, 03 Agustus 2010

mabuk facebook

ku sadar ...
semakin hari kau semakin jauh
kata-katamu tak lagi lembut
telponmu tak lagi riang
sms-mu tak lagi mesra
status update-ku tak lagi kau beri comment
ku sadar ... kau bosan denganku

Kadomu tak pernah sampai lagi
message-ku hanya diam di inbox-mu
tak pernah kau baca ... mungkin

ku sadar ...
kau jenuh denganku
ku semakin paham ingkarmu
saat tak kutemukan namamu di daftar temanku


20 - 11 - 2009

JANGAN MENIKAH!

Suatu saat saya janjian ketemuan dengan teman-teman kuliah. Ada berlima. Salah satu dari kami...hanya satu-satunya...belum menikah.
Di luar kebiasaan....biasanya pasti teman-teman yang lain akan berusaha meracuni teman lajang tersebut untuk segera menikah.
Tapi kami lain. Kami malah beramai-ramai mencuci otaknya agar tidak usah menikah :)). Dan...kami sepertinya berhasil...sampai saat ini lho

Entah karena pengalaman pribadi atau hasil cuci otak kami, memang teman saya itu enggan untuk menikah. Saya sih sebenarnya 50% : 50% dalam pencucian otaknya.
Di satu sisi saya senang jika dia bercerita sedang dekat dengan teman prianya, tapi saya tak pernah menyarankan dia menikah. Cari teman dekat sebanyak-banyaknya tapi ga usah menikah....itu saran saya.

Pengalaman saya dan teman lajang saya mungkin berbeda.
Ada banyak pengorbanan dalam pernikahan. Bahagia hanya sampai saat upacara resepsi saja...selanjutnya...haduuhhhhhhh penuh perjuangan. Saya tidak menafikkan ada beberapa bagian yang membuat melambung tinggi penuh suka cita, yaitu saat saya melahirkan. Anak adalah pengecualian dalam cerita saya kali ini. Itu tak bisa ditawar lagi..saya sangat mencintai anak saya dan saya yakin dia juga mencintai saya dengan tulus.

Hal sepele akan mampu membuat kita dan pasangan berdiam diri tak mau saling bicara...seperti dengan orang asing saja ya. Ya itulah...ego masing-masing masih tinggi. Capek lho....
Itu salah satu contoh dan masih banyak contoh lainnya.
Jika saya tidak terikat komitmen, saya bisa dipastikan akan pergi jauh..menghindar dan melupakan. Tapi dengan adanya komitmen apalagi anak...saya rasa hal tersebut harus dikubur jauh di kerak otak kita.
Saat kita pacaran, yang ada hanya cinta dan cinta. Namun di dalam pernikahan, cinta saya rasa sudah melebur menjadi sayang. Jadi wajar dong kalo ada yang main hati dan main fisik dengan yang lain tapi tetap sayang dengan pasangan kita :)) toh kita tetap sayang kan sama pasangan kita????

Kita menjadi tidak bebas mengeksploitasi diri kita jika terikat pernikahan. Ekspresi diri kita sebaiknya ditekan karena mungkin saja hal itu akan menganggu pasangan kita. Jadi...kebiasaan mblayang harus ditekan keras-keras ya (ahh susahnya).
Ada banyak contoh lagi lho...dan kalau saya urai pasti dijamin ada dua reaksi:
1) SINIS
Orang yang tergolong sinis dengan pendapat saya pasti akan bilang: halahhhh kamu aja yang iri...bilang aja harapan tak sesuai kenyataan!!!
2) SETUJU
Orang yang tergolong setuju dengan pendapat saya pasti akan merangkul saya rapat (hehehe) dan akan bertanya lebih jauh lagi tentang pendapat saya (ciieee....cciiiiee....)


Umur pernikahan saya baru seumur jagung...belum punya kompetensi apa-apa untuk bicara dan sok mengajari tentang pernikahan. Namun...saran saya...pikirkan sejuta kali jika ingin menikah...

DAFTAR IMPIAN

Kemarin penulis saya datang mengantar naskah. Dia sempat mengobrol sebentar dengan saya. Di akhir pembicaraan kami, dia bertanya kepada saya: “hidup seperti apa yang Ibu inginkan?”
Saya kaget dia menanyakan hal tersebut.
Pertama, karena kami memang tidak akrab, yang kedua adalah dia umurnya jauh di atas saya. Saya rasa dia ingin menguji kekritisan otak saya :))
Saya balik tanya: “Hidup bagaimana maksud Bapak?”
Bapak itu kemudian menjawab: “Ya seluruh hidup Ibu, seperti apa yang Ibu inginkan?”
Waduhhh saya kelabakan!
Biasanya pertanyaan yang mampir ke saya adalah tentang jurnal, buku besar, dan teman-temannya.
“Masa Ibu tidak punya gambaran tentang hidup yang Ibu inginkan?” kata penulis saya dengan ekspresi sedikit menghina plus heran yang pura-pura.
Biar tidak kelihatan bodoh dan kualitas berpikir kritis saya yang pas-pasan terlihat, saya mencoba menjawab pertanyaan penulis saya dengan otak yang berputar kencang seiring deg-degannya jantung saya :))
Pak .... kalau saya ditanya tentang hidup seperti apa yang saya inginkan, daftarnya panjang pak.
Menurut saya, kondisi dan keadaan saya saat ini sudah tidak pas jika diberi pertanyaan seperti itu.
Saya sudah menikah dan saya memperoleh satu anak yang pintar.
Dulu, sebelum menikah...bahkan sebelum saya lulus kuliah saya mempunyai daftar impian hidup yang saya inginkan. Daftarnya panjang!!
Kemudian waktu bergerak maju. Daftar itu mulai memendek dan tereliminasi dengan sendirinya. Seleksi alam. Ada daftar yang hilang, terpaksa dihilangkan, dan ada juga yang ditambahkan.
Mungkin daftar itu penuh corat-coret tanda revisi yang banyak :))
Jika ditanya apakah saya menyesal jika ada daftar saya harus tereliminasi? Saya jawab: YA! Tapi saya juga melihat, apakah dengan hilangnya daftar itu, saya mendapat daftar yang lebih membuat saya bahagia? Saya jawab dengan lantang: YA!

Semakin kita dewasa dan mengalami hidup dengan aneka cobaan dan anugerah akan semakin membuat kita maklum jika ada daftar yang hilang atau terpaksa hilang dari daftar kita.
Kita akan menangis dan kemudian tegak berdiri untuk melanjutkan hidup.

Sebelum menikah saya mempunyai impian begitu menikah saya atau kami segera akan memiliki rumah.
Tapi seiring waktu kami akhirnya menunda dulu program memiliki rumah. Kecewa? YA! Tapi apa ya harus tertunduk lesu menunggu keajaiban?

Ada banyak dalam hidup saya yang berbeda dengan impian saya.
Hal tersebut kadang membuat hidup saya seperti sesuatu yang nelongso.

Saya pernah membaca sebuah novel terjemahan dari India (saya lupa judulnya).
Isi novel itu menjelaskan bahwa derita yang dalami oleh ibu akan terwariskan ke anak perempuannya dengan kekuatan yang berlipat-lipat :((
Saya mencoba mengingkari teori di novel tersebut. Tapi setelah saya renungkan....benar juga ya....

Di 31 usia saya...yang berarti telah 31 tahun saya hidup, saya mencoba berdamai dengan hidup saya.
Saya tetap melihat daftar keinginan saya namun juga mencoba maklum jika itu jauh dari impian saya.
Saya bahagia dengan anugerah anak yang begitu sehat dan pintar.
Saya bahagia dengan pekerjaan saya yang berat dan bergaji kecil tapi di lingkungannya saya menemukan kedamaian.

Saya biarkan saja daftar keinginan saya itu penuh coretan revisi. Bukankah naskah yang baik harus mengalami coret-coret koreksi?
Bukankah untuk memperoleh hidup yang bahagia kita harus tahu terlebih dahulu apa itu sedih, susah, dan putus asa?

Itulah pak jawaban saya....

“Jadi, menurut Ibu hidup seperti apa yang Ibu inginkan? Saya tidak menemukan itu dari penjelasan Ibu, hanya omong kosong tidak jelas saja!”

Ahhh bapak ini memang mau menguji saya ...

^ ^
0

Minggu, 01 Agustus 2010

om swastiyastu

Tersentak saat melihatmu
Sepertinya aku mengenalmu

Sapamu hangat
Tak sempurna tapi mampu menghangatkan hati

Cakapmu deras
Menjelaskan tanpa menggurui

Tak bosan mata dan hati ini tertuju lurus

Sepertinya aku mengenalmu

Saat kau sapa: om swastiyastu
Aahhhh....ku yakin ku pernah mengenalmu...


~ intermezo @ mega anggrek 18 feb 2010 ~.

Ingin ikuti jalurku

Susah sekali memaksa orang lain mengikuti mau kita
Seturut kata-kata kita
Susah sekali mengajak orang lain mengikuti jalur kita
Di rel yang sama...

Dan setelah kita capai
Membujuk tanpa hasil
Memaksa tanpa asa

Akhir yang harus sempurna
Terpaksa dan dipaksa sempurna
Lakukan mau ku
Sendiri....

Tak ada beda....
Jadi kenapa harus memaksa???


28 feb 2010

Bundaku dan Bunda mereka yang menyayangiku

Lilinmu akhirnya padam juga
Setelah semalaman kau terangi kami
Hidup anak-anakmu

Tulangmu akhirnya rapuh juga
Setelah kau kuras habis dayamu
Untuk membentengi kami dari bahaya

Nafasmu akhirnya habis juga
Setelah penyakit menggerogotimu tanpa ampun
Tak tersisa

Kekuatanmu akhirnya punah juga
Setelah kau kerahkan untuk menuntun kami
Ke arah hidup yang sempurna

Kami ambil semua milikmu
Tanpa paksa kau beri
Hanya rela...

Ku tulis ini karena aku tak sanggup untuk berucap:
"Apa yang sudah ku beri untukmu?"

~ December, 10 2009 .... kangen simbokku :(( ~

Dulu dan kini

dulu ...
kemenangan adalah tak terkalahkan
artinya ...
menyingkirkan orang-orang di sekitarku
agar aku terlihat menonjol
aku nomor satu!

kini ...
kemenangan adalah dengan sadar mengalah
artinya ...
menyingkirkan egoku
agar orang-orang di sekitarku bahagia
aku adalah nomor ke sekian
bahkan mungkin tak masuk hitungan dalam daftar orang-orang terpilih

dulu ...
mencintaimu berarti kamu segalanya
artinya ...
kamu pusat segala hidupku

kini ...
mencintaimu berarti memahamimu
kesalahanmu dan khilafmu
ingkarmu dan putus-asamu

dulu ...
berserah berarti menunggu kamu merengkuhku ... mendekapku

kini ...
berserah berarti mengangkat kakiku
untuk melangkah pasti

dulu dan kini
serasa sejenak tapi baru kusadari
semuanya berubah ...

5 Juli 2010

Seharusnya di Juni

Kau minta gunung
padahal aku membutuhkan dirimu yang setegar gunung
untuk melindungiku

Kau minta darah
padalah darahmu mengalir di tubuhku
apakah kau inginkan matiku?

Kau minta perhatian
padahal tak bosannya aku teriak
agar kau menoleh ke arahku

Kau minta maafku
padahal aku selalu minta maaf atas cakapku ... tuntutanku ...

Kuminta ... kau pergi dariku ...

Sempurnamu bukan sempurnaku

Suatu hari saya “menagih” naskah dari penulis saya yang terkatung-katung di jalan penuh penantian. Setelah dengan berbagai alasan, akhirnya saya ancam juga penulis saya.
Sms saya dibalas seperti ini: “Tenang saja Bu, naskah saya sudah sempurna, jadi Ibu nanti tidak usah repot-repot edit naskah saya.”
Janji yang manis tapi menjadi pahit empedu setelah naskah eh separuh naskah saya terima.
Dalam format word yang acak-acakan. Lebih parah lagi adalah bahasanya yang acak adul tanpa diketahui mana ujung mana akhir...mana subjek mana predikat...pokoknya sistem hajar blehhh...
Selain shock plus deg-degan dengan deadline yang sudah di depan mana..akhirnya saya ambil nafas dan buka-buka blog saya saja....biar ga stres.

S E M P U R N A...
Saat saya membaca sms dari penulis kalau naskahnya sempurna, ada rasa lega di hati saya. Saya minimal membayangkan kalau benar apa yang dikatakan penulis tersebut...kerjaan saya menjadi ringan. Namun saya begitu kecewa setelah melihat langsung naskah itu.

Saya kemudian berpikir...kenapa saya bisa kepedean percaya dengan omongan penulis itu? Saya kemudian sadar kalau saya telah melakukan kesalahan....
Saya terlalu tergantung pada penulis itu. Dulu...dulu sekali....dia memang seorang penulis yang bagus. Saya selalu tersenyum setiap kali dia datang ke kantor sambil membawa naskah.
Saya yakin naskah itu baik...walaupun bukan sempurna.
Akhir-akhir ini memang saya akui kalau kami sering berkonflik...bukan secara kasat mata. Di depan saya, penulis tersebut baik dan ramah. Tapi di belakang saya ternyata dia sangat kecewa dengan saya...kecewa versi dia...yang mengeluhkan sesuatu yang bukan kompetensi saya.

Kemudian saya berpikir, apa ini cara dia protes? Atau sebab lain?
Saya tidak mau berpikir negatif tentang dia.
Mungkin saja dia punya banyak kesibukan dan saya dengan gigihnya mengejar naskah, maka mau tidak mau agar disebut profesional, dia tetap mengirimkan naskah dengan keadaan yang membuat saya ngelus dodo :)).

Suatu relasi jika sudah tidak “manis” menjadi suatu yang sensitif...sekali senggol saja bisa meledak...dan lebih parahnya adalah saat satu sama lain mempunyai visi yang mulai beda.
Sempurna versi penulis saya belum tentu sama dengan sempurna versi saya. Dan jika tidak sama hasilnya adalah kekecewaan, berpikitan negatif, dan enggan komunikasi lagi.
Saya kemudian merenung dan mencoba mengingat-ingat lagi apakah saya pernah membuat kecewa penulis saya dan ternyata daftar itu panjang sekali.
Menurut teori, seharusnya saya juga meminta penulis tersebut juga menuliskan hal yang sama seperti yang saya lakukan, tapi hal tersebut kita abaikan saja. Tidak bisa saya bayangkan jika saya melakukan hal tersebut...mungkin saat itu juga penulis saya resign :))
Ada keterbatasan tertentu yang membuat kita tidak bisa meminta orang lain untuk melakukan hal yang kita mau, walaupun itu untuk kebaikan bersama.
Ya sudahlah...biar saya saja yang instropeksi diri. Toh tidak rugi kan? Akhirnya..saya berusaha selesaikan naskah itu...saya permak kanan kiri atas bawah :)) dan akhirnya menjadi naskah sempurna (versi saya).

So...untuk menjadi sempurna (saya lebih suka menggunakan kata “terbaik”...bukankah sempurna milik Yang Kuasa?) kita harus mampu memahami orang lain, mengubah diri untuk orang lain, menerima pendapat, dan tak mengeluh.
Sepertinya saya belum mampu untuk sempurna...eh terbaik ....
Saya masih bergantung orang lain, berharap orang lain menyelesaikan pekerjaan dan beban saya.
Saya masih menuntut orang lain untuk seperti mau saya, tanpa peduli perasaan dan kemampuan mereka.
Saya masih belum menerima jika saya dikritik apalagi dikatakan tidak mampu.
Saya masih merasa hebat.
Saya ...... jauh dari kategori terbaik ... apalagi sempurna.

1 Agt 2010