Suatu hari saya “menagih” naskah dari penulis saya yang terkatung-katung di jalan penuh penantian. Setelah dengan berbagai alasan, akhirnya saya ancam juga penulis saya.
Sms saya dibalas seperti ini: “Tenang saja Bu, naskah saya sudah sempurna, jadi Ibu nanti tidak usah repot-repot edit naskah saya.”
Janji yang manis tapi menjadi pahit empedu setelah naskah eh separuh naskah saya terima.
Dalam format word yang acak-acakan. Lebih parah lagi adalah bahasanya yang acak adul tanpa diketahui mana ujung mana akhir...mana subjek mana predikat...pokoknya sistem hajar blehhh...
Selain shock plus deg-degan dengan deadline yang sudah di depan mana..akhirnya saya ambil nafas dan buka-buka blog saya saja....biar ga stres.
S E M P U R N A...
Saat saya membaca sms dari penulis kalau naskahnya sempurna, ada rasa lega di hati saya. Saya minimal membayangkan kalau benar apa yang dikatakan penulis tersebut...kerjaan saya menjadi ringan. Namun saya begitu kecewa setelah melihat langsung naskah itu.
Saya kemudian berpikir...kenapa saya bisa kepedean percaya dengan omongan penulis itu? Saya kemudian sadar kalau saya telah melakukan kesalahan....
Saya terlalu tergantung pada penulis itu. Dulu...dulu sekali....dia memang seorang penulis yang bagus. Saya selalu tersenyum setiap kali dia datang ke kantor sambil membawa naskah.
Saya yakin naskah itu baik...walaupun bukan sempurna.
Akhir-akhir ini memang saya akui kalau kami sering berkonflik...bukan secara kasat mata. Di depan saya, penulis tersebut baik dan ramah. Tapi di belakang saya ternyata dia sangat kecewa dengan saya...kecewa versi dia...yang mengeluhkan sesuatu yang bukan kompetensi saya.
Kemudian saya berpikir, apa ini cara dia protes? Atau sebab lain?
Saya tidak mau berpikir negatif tentang dia.
Mungkin saja dia punya banyak kesibukan dan saya dengan gigihnya mengejar naskah, maka mau tidak mau agar disebut profesional, dia tetap mengirimkan naskah dengan keadaan yang membuat saya ngelus dodo :)).
Suatu relasi jika sudah tidak “manis” menjadi suatu yang sensitif...sekali senggol saja bisa meledak...dan lebih parahnya adalah saat satu sama lain mempunyai visi yang mulai beda.
Sempurna versi penulis saya belum tentu sama dengan sempurna versi saya. Dan jika tidak sama hasilnya adalah kekecewaan, berpikitan negatif, dan enggan komunikasi lagi.
Saya kemudian merenung dan mencoba mengingat-ingat lagi apakah saya pernah membuat kecewa penulis saya dan ternyata daftar itu panjang sekali.
Menurut teori, seharusnya saya juga meminta penulis tersebut juga menuliskan hal yang sama seperti yang saya lakukan, tapi hal tersebut kita abaikan saja. Tidak bisa saya bayangkan jika saya melakukan hal tersebut...mungkin saat itu juga penulis saya resign :))
Ada keterbatasan tertentu yang membuat kita tidak bisa meminta orang lain untuk melakukan hal yang kita mau, walaupun itu untuk kebaikan bersama.
Ya sudahlah...biar saya saja yang instropeksi diri. Toh tidak rugi kan? Akhirnya..saya berusaha selesaikan naskah itu...saya permak kanan kiri atas bawah :)) dan akhirnya menjadi naskah sempurna (versi saya).
So...untuk menjadi sempurna (saya lebih suka menggunakan kata “terbaik”...bukankah sempurna milik Yang Kuasa?) kita harus mampu memahami orang lain, mengubah diri untuk orang lain, menerima pendapat, dan tak mengeluh.
Sepertinya saya belum mampu untuk sempurna...eh terbaik ....
Saya masih bergantung orang lain, berharap orang lain menyelesaikan pekerjaan dan beban saya.
Saya masih menuntut orang lain untuk seperti mau saya, tanpa peduli perasaan dan kemampuan mereka.
Saya masih belum menerima jika saya dikritik apalagi dikatakan tidak mampu.
Saya masih merasa hebat.
Saya ...... jauh dari kategori terbaik ... apalagi sempurna.
1 Agt 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar